Kepada Yth,

Kepolisian Republik Indonesia,

Atau Kementrian Perhubungan,

Atau Gubernur DKI Jakarta, Bpk. Basuki Tjahja Purnama,

Di tempat masing-masing.

Bersama ini saya ingin menyampaikan keprihatinan saya mengenai kemacetan yang makin menjadi-jadi di Jakarta kita tercinta ini. Tapi saya rasa, prihatin saja tidak cukup, Pak. Saya juga ingin menawarkan solusi bagaimana mengatasi kemacetan di Jakarta. Kalau terdengar remeh, mohon maaf ya Pak.

Berdasarkan pengamatan saya, cukup banyak kemacetan yang diawali ketidakdisiplinan dari para pengguna jalan raja raya, baik itu kendaraan roda dua maupun roda empat. Sepele saja Pak, seperti melanggar lampu lalu lintas, pasti Bapak-Bapak lebih dari sekedar paham tentang hal ini. Ketika mobil atau motor tidak melambatkan laju kendaraannya ketika lampu kuning menyala, dia akan terhenti di tengah-tengah persimpangan jalan, apalagi jika jalan di depannya sudah macet, otomatis akan berdampak pada lajur lainnya juga. Itulah salah satu inisiasi macetnya Jakarta. Hal ini adalah dampak yang mungkin timbul selain kecelakaan lalu lintas tentunya.

Atau mungkin, penyebab lain yang lebih klasik : angkot ngetem. Tidak peduli berapa panjang kemacetan yang mereka buat karena menunggu 1 atau 2 orang penumpang, mereka selalu berlindung di balik alasan seperti : “orang susah”, “nyari duit” dan sebagainya. Saya rasa, sangat banyak “orang susah” dan orang yang juga “nyari duit” yang terhambat karena ulahnya. Kalau saya sih, cukup sering melihat ada metromini ngetem, dan di sampingnya ada polisi. Bahkan di bawah rambu larangan STOP!

Selain itu, coba Bapak-Bapak perhatikan lalu lintas di jalan tol, betapa banyak pengendara mobil yang tidak patuh aturan, yang akhirnya membuat kemacetan bertambah parah. Misalnya, berkendara di bahu jalan, atau menyerobot antrian di pintu keluar tol. Logikanya saja Pak, exit keluar tol hanya 1 jalur, tapi kenapa macetnya sampai 1 km sebelum exit? Logikanya, antrian mengular hanya pada jalur menuju pintu keluar kan Pak?

Nah, saban pagi jika saya mendengar traffic report di radio, selalu volume kendaraan yang menjadi alasan atas kemacetan itu. Memang benar rasio volume kendaraan sudah jauh melesat meninggalkan panjang jalanan di ibu kota ini, tapi bukankah pelanggaran etika berkendara juga banyak menjadi penyebab kemacetan, seperti yang sudah saya jelaskan di atas?

Apakah Bapak-Bapak sudah bisa menangkap kata kunci dari tulisan-tulisan saya di atas? Kalau belum, biar saya jelaskan : PENGAWASAN. Banyak dari kami, para pengguna jalan, yang tidak merasa terawasi tindak-tanduknya, sehingga suka bertingkah seenaknya di jalan raya. Banyak dari kami, para pengguna jalan, yang tidak sadar kalau kami bertingkah seenaknya di jalanan, akan merugikan pengendara lainnya juga.

Fungsi pengawasan memang sudah ada, tapi menurut saya hal itu sudah tidak tepat dan tidak relevan lagi untuk terus digunakan. Sebut saja, penjagaan perempatan oleh Polantas. Para pelanggar, tinggal menghindari perempatan yang rawan akan hadirnya polisi.

Bagaimana kalau begini Pak : perbanyak patroli keliling dengan motor/mobil, dan tilang di tempat untuk para pelanggar lalu lintas! Dengan banyaknya patroli keliling seperti ini, banyak dari kami akan terawasi (atau mungkin lebih ke was-was), dan berpikir 2 kali sebelum melakukan pelanggaran. Dengan rutin melakukan patroli keliling, sistem pengawasan akan berlangsung lebih dinamis, dan tidak cuma statis di persimpangan jalan saja.

Untuk jangka panjang, mungkin bisa dipertimbangkan untuk banyak menggunakan CCTV dan sistem tilang elektronik, layaknya negara-negara lain seperti Singapura. Dengan adanya sistem yang lebih modern ini, saya rasa banyak warga akan merasa terawasi dan berpikir dua kali jika ingin melakukan pelanggaran, karena berpikir akan hukuman yang akan dia terima jika melanggar.

Hormat saya,

Rachmat Ferdian

Jakarta